Dalam tinjauan lapangan di Kotawaringin Timur, Ombudsman RI mengungkap masalah penyimpangan dalam penimbangan TBS dan hambatan pada proses pelepasan
April
22 Agustus 2024Dalam tinjauan lapangan di Kotawaringin Timur, Ombudsman RI mengungkap masalah penyimpangan dalam penimbangan TBS dan hambatan pada proses pelepasan
April
22 Agustus 2024Kotawaringin Timur, HAISAWIT – Ombudsman Republik Indonesia (RI) mengungkap adanya indikasi maladministrasi yang serius dalam tata kelola industri kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Temuan ini diperoleh setelah Ombudsman RI bersama perwakilan kementerian, lembaga, dan stakeholder terkait melakukan tinjauan langsung ke lapangan pada Rabu (21/08/2024).
Tinjauan lapangan ini dilakukan di beberapa lokasi strategis, termasuk lahan perkebunan kelapa sawit PT Kantingan Indah Utama di Desa Kabuau, Kecamatan Parenggean, serta pabrik kelapa sawit PT Pelantaran Sawit Perkasa di Desa Bukit Batu, Kecamatan Cempaga Hulu. Kegiatan ini juga merupakan bagian dari penyusunan kajian sistemik terkait pencegahan maladministrasi pada layanan tata kelola industri kelapa sawit di Indonesia.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menjelaskan bahwa timnya menemukan sejumlah masalah yang mengindikasikan adanya maladministrasi dalam tata kelola industri kelapa sawit di daerah tersebut. Salah satu isu utama yang diidentifikasi adalah adanya tumpang tindih regulasi yang menghambat proses tata kelola yang efektif.
"Kita turun bareng-bareng para stakeholder terkait. Kita lihat sama-sama penerapan regulasi di lapangan," ujar Yeka, seperti dilihat laman resmi Ombudsman RI, Kamis (22/08/2024).
Dalam rilis Ombudsman RI, Kamis (22/08/2024), disebutkan bahwa di lokasi PT Kantingan Indah Utama (KIU), Ombudsman menemukan keluhan terkait dengan proses penyelesaian pelepasan kawasan hutan yang hingga kini belum ada kepastian. Meskipun pihak PT KIU telah melakukan pembayaran tagihan 110A sejak sembilan bulan yang lalu, kepastian hukum terkait status lahan tersebut masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan.
Selain itu, dalam kunjungan ke tempat usaha RAM kelapa sawit, Ombudsman RI menemukan adanya potensi maladministrasi dalam proses penimbangan buah sawit. Ditemukan bahwa pelaku usaha tidak pernah melakukan tera ulang timbangan, yang kemudian terbukti menguntungkan pihak pelaku usaha dengan selisih sekitar 2 ons per penimbangan. Situasi ini tentu saja merugikan petani yang menjual hasil panennya.
Temuan maladministrasi lainnya juga ditemukan di pabrik kelapa sawit PT Pelantaran Sawit Perkasa (PSP), di mana terdapat potensi penyimpangan dalam penimbangan tanda buah segar (TBS). Meskipun telah dilakukan tera ulang oleh Unit Metrologi Legal, Ombudsman mencatat bahwa mesin tera yang digunakan tidak memiliki segel setelah dilakukan tera ulang, menimbulkan keraguan atas keakuratan proses penimbangan.
Pada lokasi terakhir, yaitu di lahan perkebunan kelapa sawit Koperasi Bukit Lestari di Desa Bukit Batu, Ombudsman menemukan bahwa lahan seluas 851 hektare yang dikelola oleh koperasi tersebut masih belum memiliki Hak Atas Tanah yang sah, karena lahan tersebut masih termasuk dalam kawasan hutan. Hak tanah yang dimiliki petani hanya berupa Surat Keterangan Tanah (SKT) yang diterbitkan untuk 192 anggota koperasi. Kondisi ini menjadi kendala besar bagi koperasi yang berencana melakukan replanting dalam lima tahun ke depan, mengingat usia pohon kelapa sawit di lahan tersebut sudah mencapai 20 tahun.
Menyikapi temuan ini, Ombudsman RI meminta para petani anggota Koperasi Bukit Lestari untuk segera melengkapi segala persyaratan legalitas lahan. Ombudsman juga berjanji akan memfasilitasi pertemuan dengan kementerian terkait untuk membantu menyelesaikan masalah ini, sehingga proses replanting dapat berjalan sesuai dengan rencana.
Langkah Ombudsman RI dalam menyoroti dan mengungkap berbagai permasalahan tata kelola industri kelapa sawit di Kotawaringin Timur ini merupakan upaya penting untuk mencegah terjadinya maladministrasi yang merugikan berbagai pihak, khususnya para petani dan masyarakat lokal. Ombudsman berharap temuan ini dapat mendorong perbaikan sistemik dalam tata kelola industri kelapa sawit di Indonesia, sehingga tercipta lingkungan bisnis yang lebih adil dan transparan.